Melanggar Aturan

Melanggar Aturan

Saya dan Agatha Eliza Novianti, wanita cantik yang saya nikahi, memiliki aturan yang berbeda terhadap anak-anak kami. Belajar dari masa kecil kami berdua, dimana banyak aturan-aturan masa kecil yang berubah ketika menjadi dewasa, maka kami bernegosiasi untuk aturan – aturan yang kami sepakati bersama. Salah satu kesepakatan itu adalah aturan diperbolehkannya bermain hujan. Bermula dari permintaan putri bungsu kami (sementara ini) Bielle – beberapa tahun yang lalu, untuk bermain hujan. Waktu itu turun hujan cukup deras. Sama seperti saat ini, dimana hujan mulai mengunjungi berbagai tempat di indonesia, mungkin juga tempat Anda khan?

Seperti halnya sore kemarin, ketika hujan mulai mengguyuri kota Jogjakarta, kedua anak saya asyik bermain hujan di halaman rumah. Mereka menari, menciptakan permainan dengan air hujan, tertawa, ciprat – cipratan dan tampak amat menikmati air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Tidak banyak orang tua yang mengijinkan anaknya bermain hujan, alasannya nanti sakitlah, masuk angin dll. Benarkah demikian? Mungkin iya atau tidak tergantung apa yang Anda yakini selama ini. Apakah semua orang yang terkena hujan akan sakit? Pasti Anda tahu jawabannya. Jika semua orang yang kena hujan akan jatuh sakit, maka musim hujan akan menjadi musim panen bagi para dokter, kalo bisa hujan terus sepanjang tahun he..he..he.

Aturan-aturan yang ditanamkan sejak kecil akan mudah diingat dan dijadikan program bawah sadar yang terbawa sampai dewasa. Oleh karena itu, sudahkah anda pastikan bahwa Anda hanya berikan aturan yang memberdayakan? Seperti halnya rantai gajah. Tentu Anda pernah mendengar cerita tentang rantai gajah bukan? Belum? Baiklah akan saya ceritakan kembali.

Seekor gajah yang masih muda akan diikat salah satu kakinya dengan sebuah rantai yang besar. Rantai tersebut diikatkan pada sebuah tonggak atau pohon yang sangat kuat. Maka gajah muda itu akan terbatas geraknya. Dia tidak akan bisa pergi jauh dari tempat ditambatkan. Awalnya sang gajah memberontak, namun karena kuatnya rantai di kakinya, maka sia-sialah usahanya. Gajah itu mulai belajar bahwa seberapapun tenaganya, rantai itu tetap akan mengingat kakinya dan membatasi geraknya. Lama-kelamaan gajah itu menerima nasibnya dan  menjadi jinak.

Kisah di atas nampaknya mirip dengan cerita manusia bukan? Seseorang yang percaya bahwa dirinya orang tidak berdaya, tidak punya pilihan, tidak beruntung, tidak berbakat, dan hal apapun itu yang kurang memberdayakan, memiliki sindrom rantai gajah tersebut. Kadang kala tanpa sadar kita turut mengalungkan rantai gajah ke diri kita sendiri dan ke anak-anak kita. Niat awalnya mungkin baik, namun kemudian malah jadi belenggu.

Lalu bagaimana supaya kita bisa buang rantai gajah itu? Sebelum dibuang tentunya kita perlu tahu, rantai gajah apa saja yang kita miliki? Semua aturan dan hal yang tidak memberdayakan diri adalah rantai gajah. Saya tidak tahu apakah Anda kumpulkan rantai gajah dan membuangnya sekarang atau setelah Anda yakin untuk membuangnya?

Saat gajah muda itu telah menjadi jinak, maka rantainya diganti dengan rantai yang lebih kecil, yang pastinya akan mudah sekali diputuskan. Namun gajah itu telah memindahkan rantai dari kakinya ke dalam pikirannya. Maka kekuatan dirinya yang besar dikurung oleh ketidak berdayaan pikirannya. Ironis bukan?

Sebagai orang tua, hal baik apa yang akan Anda tanamkan kepada anak-anak Anda? Aturan jangan pernah bicara dengan orang asing, akan menjadi rantai gajah yang harus dibuang di kemudian hari. Bagaimana mungkin mereka kelak mudah bertemu dengan klien baru, pelanggan baru, mentor baru jika saat kecil punya aturan jangan bicara dengan orang asing? Hmmm hal ini tentunya akan jadikan Anda lebih memperhatikan aturan yang Anda terapkan kepada anak-anak bukan?

Bermain hujan menjadikan sore kemarin sebuah keceriaan bagi anak-anak saya. Mereka belajar bahwa hujan adalah berkah, hujan itu asyik dan menyenangkan. Saya selalu ingat bagaimana antusias dan semangatnya mereka saat bermain hujan untuk pertama kali beberapa tahun yang lalu, dan hal itu selalu berulang setiap kali mereka main hujan. Bukankah Anda selalu senang melihat anak-anak yang antusias dan penuh semangat? Kalo begitu, aturan apa yang sudah old fashioned dan perlu dilanggar sekarang?

Ndalem Mondorakan 30.10.12

mau ngobrol dengan saya? bisa follow twitter @DokterAgungKris atau mau mengundang saya untuk bicara di institusi/komunitas Anda bisa hubungi ke 0812 8493 1800 

2 thoughts on “Melanggar Aturan

  1. Tripina

    Tadi siang saya juga menyaksikan betapa bahagianya anak saya Rose Virginie…bahkan ia mengatakan “mama aku senang bermain sepuasnya, karena hari ini kami tidak ada PR”. Hari ini mereka memang tidak ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) kerena misa Hari Pangan Sedunia disekolahnya.
    Mendengar ocehan anak saya…saya dan teman berkomentar “kasian ya anak-anak sekarang, mereka terlalu dibebani pelajaran dan tugas-tugas sekolah, padahal dulu kita sangat senang pergi ke sekolah”. Dari pembicaraan itu kami malah bernostalgia tentang masa kecil kami. Ternyata permainan dan kebahagian masa kecil kami tidak jauh berbeda…teman saya berasal dari Jogja sedangkan saya dari kalimantan. Masa kecil kami bahagia karena tidak banyak larangan dari orang tua kami untuk mengeksplor berbagai permainan yang ada di sekirat kami.
    Maaf komennya kepanjangan dok…:)

    Reply

Leave a comment