Fake it

Fake it

the motivator doctor agung kristiantoAlkisah, sebuah keluarga yang kaya raya memiliki tradisi yang cukup unik. Tradisi ini sudah diwariskan turun temurun sejak dahulu kala. Entah siapa yang memulai untuk pertama kalinya, namun itu sudah tidak penting lagi. Siapapun yang berada di keluarga itu memegang teguh tradisi tersebut. Bukankah memang seperti itu yang dinamakan tradisi? Dipegang erat dan tidak boleh dipertanyakan lagi.

Keluarga kaya raya itu memiliki sebuah keris pusaka yang diwariskan turun temurun kepada anak lelaki tertua di keluarga tersebut. Keris itu menjadi lambang kemakmuran dan tentu saja tanggungjawab. Setiap keluarga yang diwarisi keris tersebut akan dilimpahi sejahtera, kedamaian dan kebahagiaan.

Pada suatu masa, keris itu diwariskan kepada sebuah keluarga yang memiliki anak lelaki kembar. Karena kembar, maka sulit ditentukan siapakah sebenarnya yang tertua dari keduanya. Tentu saja yang lahir terlebih dulu, maka dialah yang tertua. Pendapat ini yang lazim ditentukan dan mungkin pendapat Anda juga. Namun ada kepercayaan bahwa sebenarnya anak yang lahir terakhirlah yang tertua. Karena dia mengalah dan mempersilahkan adiknya untuk keluar terlebih dulu. Sikap mengalah seperti ini adalah sikap seorang kakak bukan?

Kedua pendapat yang bertentangan di atas ini tidak menjadi persoalan sampai saat mewariskan keris pusaka. Kepada siapa seharusnya keris itu diwariskan? Berkali-kali rapat keluarga yang dilakukan tidak menemukan kata sepakat. Akhirnya sang Ayah yang bijak seperti saya ceritakan di acara Ngudi Larasing Pakarti, mengambil keputusan yang tidak terduga. Dia meminta seorang Empu Keris untuk membuat satu keris lagi yang sama persis dengan keris pusaka. Dipalsukan? Ya dipalsukan.

Memalsukan adalah sebuah tindakan yang bisa dikenakan hukuman denda ataupun kurungan. Itu yang dituliskan di setiap lembar uang kertas, namun tidak di uang koin. Bukan berarti uang koin boleh dipalsukan.

Seorang sahabat yang belajar di luar negeri dan sebentar lagi lulus, pernah menceritakan kepada saya tentang perilaku penduduk setempat yang penuh kepura-puraan. Kepalsuan, it is plastic. Tentu saja ini pendapat yang mengeneralisasi. Namun apakah kepura-puraan itu selalu tidak baik? Tentu saja, itu tidak tulus, tidak jujur, tidak apa adanya. Hehehe itu kan pendapat sementara orang yang belum tahu.

Jack Canfield, salah satu kontributor The Secret, penyusun Buku seri Chicken Soup for the Soul, pernah menuliskan Prinsip Bertindak Seolah. Bertindak Seolah akan mengirimkan perintah kuat ke alam bawah sadar Anda agar mencari cara-cara kreatif untuk mencapai tujuan Anda*. Jika Anda kurang yakin bagaimana jika bertindak seolah yakin. Jika Anda kurang pede bertindaklah seolah pede. Namun tindakan seolah, atau kepura-puraan ini harus dilakukan dengan serius. Yakin dan bertindak seolah Anda selalu berhasil.

Jadi apakah berlaku pura-pura itu baik? Baik atau buruk itu tergantung dengan Intensinya. Kepura-puraan itu seperti pisau. Pisau bisa membantu Anda memasak namun juga bisa melukai, tergantung bagaimana cara menggunakannya. Bagaimana jika Anda berpura-pura menjadi pribadi yang aktif, penuh semangat, antusias dan senang berbagi?

Setelah kedua anak kembar itu masing-masing mendapat warisan keris pusaka, ya tentu saja mereka tidak tahu bahwa salah satu adalah keris baru, maka kehidupan mereka berdua pun dilimpahi dengan kesejahteran, kedamaian dan kebahagiaan. Sama persis kelimpahan yang mereka miliki. Anda tentunya bisa mengambil kesimpulan bahwa bukan kerisnya yang menentukan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan, melainkan sikap mereka sendiri. Jadi jika sikap diri Anda belum sesuai dengan yang Anda inginkan, ubahlah, berpura-puralah dan bertindak seolah Anda sudah dapatkan apa yang Anda inginkan. Fake it until you make it.

Salam Berkelimpahan

The Motivator Doctor, 12-12-12

*The Succes Principles, Jack Canfield

Leave a comment